Selasa, 12 Maret 2013

Cerpen (Umi : Mahasiswa Unmul asal Samboja)

Peace!!!!
 
Mentari akan tenggelam di ufuk barat dan ketika itu pula semilir angin menerjang ke arah rambutku. Aku termangu menatapi deburan ombak yang sedang berkejar-kejaran di tepi sungai Tepian. Aku menerawang jauh ke arah sungai itu, memikirkan sosok seseorang yang benar-benar ada di relung hatiku, berharap dia ada di hadapanku saat ini. Menemaniku sampai benar-benar aku percaya dan berharap penuh padanya untuk selalu bersamaku, sampai akhirnya nanti aku akan merasa tenang di sampingnya. Menatap bola matanya yang penuh dengan kejujuran dan sirat akan kelembutan.
Aku pun tersadar bahwa khayalanku ini terlalu tinggi, sungguh tinggi! Khayalan yang tak akan pernah  bisa terjadi di duniaku saat ini, karena duniaku dan dunianya kini memang telah berbeda. Berbeda!
Handphoneku berbunyi, kulihat dilayar ternyata dari Rendy kekasihku.
 “Hm ya,,ada apa Ren?”
“Hari Minggu besok kamu nggak ke mana-mana kan? Kita jalan-jalan ya, aku pengen refreshing bareng kamu nih.”
 Jalan-jalan? Kemana Rendy mau mengajakku?!
Tuhan…apa yang harus aku katakan? Setahun lamanya aku menjalani hari bersamanya. Tapi mengapa? Sampai saat ini aku tak pernah bisa untuk bisa sepenuhnya mengerti Rendy. Sosok bayangan yang jauh di atas sana melintas di hadapanku dan mengusik pikiranku. Aaargh…
 “Vin, kamu nggak papa kan?” Rendy mengagetkanku di seberang sana.
 “Oh ya Ren,maaf ya, kayaknya aku nggak bisa Minggu besok. Aku di ajak Om Erwin ke rumah Oma.” Bohongku lagi. Selalu!
Seperti biasa, Rendy tak lelahnya mengajakku pergi bersamanya dan aku punya seribu alasan untuk menolak ajakannya. Seperti siang kemarin saat dia mengajakku makan di Mall.
“Ren, aku capek banget. Tadi aku baru selesai praktek lapangan. Kamu ngertiin aku ya?” penuh harap aku menunggu jawabannya. Aku memang habis praktek lapangan tadi, yang aku bohong sebenarnya aku tidak terlalu lelah, soalnya prakteknya cuma sebentar aja. Aku tahu, sebenarnya kalau pun nantinya pergi ke Mall, pasti bukan hanya sekedar makan saja. Mall adalah salah satu tempat yang sering aku kunjungi bersama Raka. Aku tidak ingin selalu teringat akan kenanganku bersamanya.
“Ya sudah deh, aku ngerti” jawabnya sambil mengacak rambutku.
 “Tapi janji, lain kali jangan nolak aku lagi. Kalau nggak aku nggak mau ketemu lagi,” katanya lagi.
“Iya, hari ini kita makan di kantin kampus aja ya,” jawabku cepat.
Rendy, kenapa aku harus bergelut dengan perasaan bersalah ini. Aku bukannya tak ingin selalu bersamamu, jalan-jalan denganmu. Tapi semua itu cuma mengingatkan aku sama Raka. Munafikkah diriku? Maafkan aku Rendy!
 Sebenarnya tidak ada yang kurang dari diri Rendy. Dia baik, pintar, dan disukai banyak orang. Hanya saja aku yang sering membuatnya sedih, namun tak pelak dia masih bersikap sabar dan setia bersamaku.
 
***
 
Hari ini tidak seperti biasanya Rendy tak menghubungiku. Biasanya dia selalu menghubungiku, hampir setiap saat. Aku merasa ada yang hilang, walaupun aku selalu tak pernah bisa melupakan Raka, kekasihku yang telah tiada, tapi aku pun tak ingin Rendy pergi meninggalkan aku.
Ah ya, aku ingat. Kemarin dia memintaku untuk menemaninya ke acara pesta pernikahan temannya, tapi aku menolaknya. Tapi aku menolak karena memang tidak bisa. Tante Diana, istri Om Erwin menelfon minta ditemani ke Supermarket untuk berbelanja bahan dapur. Apa Rendy benar-benar tidak akan lagi menemuiku?kenapa dia nggak ada telfon aku?
“Vina? Kamu nggak papa?” tanya Karin mengangetkanku. Lalu dia duduk di sampingku.
“Ah nggak,” jawabku bohong.
“Oh, bagus deh. Aku kira kamu nggak bisa nahan rasa sedihmu ditinggal Rendy.”
Aku menoleh ke Karin,“Maksud kamu? Emang rendy kemana Rin?” tanyaku bingung.
Karin terlihat lebih bingung dengan pertanyaanku. Dia menatap mataku, mencari kebenaran dalam bola mataku, apakah aku bercanda.
“Jadi kamu beneran nggak tahu?” tanyanya kembali sambil mengerutkan wajahnya, tanda ia masih terlihat bingung dan tak percaya.
“Iya Rin, aku gak tahu apa-apa. Dari tadi Rendy gak ada hubungin aku.”
“Astaga Vin, berapa lama kamu pacaran sama dia? Jangan-jangan kamu juga nggak tahu lagi kalau dia punya penyakit?” kata Karin tak percaya.
Aku terdiam. Kepalaku rasanya mau meledak. Tak mampu mengusir banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul begitu saja. Penyakit? Rendy punya penyakit?Penyakit apa? Selama ini dia terlihat sehat sekali, nggak ada tanda-tanda dia sedang sakit. Dia juga nggak pernah cerita.
“Ah ya, aku mengerti sekarang. Aku sudah kenal Rendy lama, jauh sebelum kamu kenal dia. Aku tahu sifat Rendy, pasti dia nggak mau kamu tahu dan sedih kalau kamu tahu tentang penyakitnya. Dia mengidap penyakit kanker Vin.”
“Kanker?” tanyaku tak percaya. Rasanya seluruh saraf di tubuhku terhenti. Aku kembali teringat Raka, dia meninggal karena terserang penyakit kanker Otak.
“Iya, kanker. Sudah lama aku tahu dia punya penyakit itu. Tapi sampai sekarang aku juga nggak tahu dia kena kanker apa. Dia nggak pernah mau kasih tahu siapa pun Vin. Tapi yang jelas dulu dia pernah bilang, yang penting kalau dia terus bahagia dia pasti cepat sembuh. Dia juga pernah bilang, katanya kamu itu satu-satunya perempuan yang bisa buat dia ngerasain apa artinya cinta. Aku salut Vin sama kamu,”kata Karin sambil menepuk bahuku.
Aku masih mencerna kata-kata Karin. Apa benar aku nggak salah dengar? Tapi Karin nggak mungkin bohong.
“Terus kamu tahu nggak sekarang dia di mana? Handphonenya nggak aktif.”
“Aku nggak tahu Vin. Kemarin dia cuma pamit mau berobat dan minta doa sama teman-teman sekelas. Itupun Cuma sebentar banget. ”
Kanker? Hanya kata itu yang ada dalam kepalaku. Rendy ninggalin aku selamanya karena kanker? Apa Rendy juga akan ninggalin aku? Aku bangkit dari kursi dan bergegas menggamit tasku. Aku melangkahkan kakiku menuju parkiran.
“Vin, kamu mau kemana?” suara Karin terdengar jauh di belakang sana. Aku tak mampu menjawab. Rasanya bibirku terasa sangat kelu, bahkan untuk melangkah pun sulit. Yang ada dalam pikiranku aku harus secepatnya menemui Rendy. Tapi di mana? Ah, aku harus pergi ke rumahnya.
 
***
 
Buuuuk, aku membanting pintu mobil dengan keras. Air mataku kini tak lagi dapat kubendung. Aku menyesali diriku,  merutuki diri. Mengapa aku begitu egois. Aku tak pernah mau peduli bagaimana perasaan Rendy, aku hanya mementingkan diriku sendiri. Baru saja aku mengetuk pintu rumahnya, pembantunya bilang majikannya pergi ke luar negeri. Apa benar Rendy berobat keluar negeri? Separah itukah penyakitnya sampai dia mesti berobat ke luar negeri?
Aku melaju mengarahkan mobilku ke arah menuju Tepian. Hanya tempat inilah yang selama ini dapat menenangkan hatiku di saat aku rapuh. Selama ini aku tinggal di rumah Om Erwin, adik ayahku. Orang tuaku sudah lama meninggal, sejak umurku 7 tahun. Mereka meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit saat ibuku akan  melahirkan adikku. Tapi belum sampai di Rumah Sakit mobil yang ditumpangi orang tuaku ditabrak Truk. Sejak saat itulah aku merasa bahwa hidupku telah mati. Saat aku duduk di bangku SMA kelas 11, aku berkenalan dengan Raka. Mahasiswa Universitas Mulawarman semester 3. Rakalah yang telah membuat hidupku segar kembali. Dia yang selalu menemani hari-hariku. Memberi kebahagiaan sampai aku masuk di tempat kuliah yang sama dengannya. Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama, hanya sampai aku baru 3 bulan merasakan menjadi mahasiswa baru, Raka meninggalkanku untuk selama-lamanya. Sampai pada tak lama waktu berselang, Rendy datang padaku.
“Kamu yang namanya Vina?” tanya seorang pria dihadapanku. Pria ini mengagetkanku. Aku taksir, mungkin umurnya setara dengan umurku. Tapi, aku seperti tak asing rasanya dengan wajah pria ini.
Saat ini aku sedang menikmati indahnya panorama Tepian. Sore ini aku tak ada pekerjaan apa-apa, jadi aku memutuskan untuk berjalan-jalan seorang diri. Setelah dua tahun lamanya Rendy tak memberi kabar kepadaku, sampai sekarang aku seorang diri. Aku masih menunggunya. Banyak teman-temanku yang sudah menikah, tapi aku sudah berjanji untuk menunggu dan hidup bersamanya.
Ah Rendy, bagaimana kabarmu saat ini? Apa kamu belum sembuh?Atau sebenarnya kamu sudah sembuh? Tapi mengapa tak juga kamu menemuiku?Apa memang kamu sudah ingin menjauh dariku?
“Apakah kamu mendengarku?” pria itu membuyarkan lamunanku.
“Ah ya, saya Vina,” jawabku.
“Anda siapa?” tanyaku bingung.
 “Apa Anda tak mengenaliku?” tanya pria itu lagi.
 Kali ini dia menatapku dengan tajam. Mata itu? Ah, aku seperti mengenali mata itu. mata itu milik Rendy. Apa benar dia Rendy? Rendy yang selama ini aku nanti. Tapi badan pria ini tak seatletis dan setinggi Rendy. Apa yang telah menyebabkannya menjadi seperti ini? Pikiranku semakin kemana-mana. Aku semakin bingung.
“Apa kamu Rendy?” tanyaku ragu.
“Hm, ternyata kamu mengenali.”
“Jadi kamu benar Rendy?” tanyaku penuh kebahagiaan.
Belum sempat aku memeluknya, Rendy berkata,”Ah, ternyata kamu benar mencintainya. Buktinya kamu masih mengenali matanya.”
“Maksud kamu?”
“Mata ini memang milik Rendy, tapi aku bukan Rendy.”
Aku masih bingung dengan perkataan pria ini.
“Namaku Rian, Rendy mendonorkan matanya untukku. Aku…”
Belum sempat aku mendengarkan lanjutan cerita Rian, aku merasa seperti di hantam sebuah batu besar di kepalaku, tiba-tiba aku merasa di sekelilingku menjadi gelap. Badanku terasa lemas dan aku hanya bisa mendengar sayup-sayup suara Rian memanggil namaku.
 
***
 
Aku membuka mataku dengan berat. Di sampingku ada Om Erwin dan Rian, serta seorang wanita dan pria yang aku kenali adalah orang tua Rendy. Aku seperti sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh orang tua Rendy. Aku tahu Rendy sudah meninggal, dan Rian? Aku tak tahu siapa dia sebenarnya, yang aku tahu mata yang ada dalam dirinya adalah mata Rendy.
“Vin, kamu sudah sadar?” Om Erwin membantuku untuk duduk.
“Vin, ini orang tua Rendy. Dia ingin bicara denganmu. Jadi lebih baik Om keluar dulu.” kata Om Erwin sambil beranjak meninggalkan kamar.
Tante Emy menggamit tanganku, dia memelukku dan menangis. Entah apa yang membuatnya menangis. Mungkin dia tak sanggup mengatakan kepadaku bahwa Rendy telah tiada.
 Tiba-tiba ruangan kamarku menjadi gelap. Aku tak dapat melihat apa-apa, aku hanya mendengar suara gaduh memenuhi kamarku yang sempit ini.
DOR!!!
Suara balon pecah mengagetkanku, dan lampu seketika menyala. Aku melihat teman-temanku dan keluargaku memenuhi kamarku. Banyak balon-balon bertebaran di kamarku, begitu pula hiasan-hiasan yang cantik tak luput dari pandangan mataku. Aku bingung, apakah aku berulang tahun? Tanggal berapa ini? Aku ingat, hari ini adalah tanggal 27 September, kenapa aku sampai lupa. Belum sempat aku menghilangkan rasa kagetku, aku tercengang melihat sosok pria yang datang dengan kursi roda. Dia membawa kue tart dengan lilin berbentuk 22. Ya, umurku sekarang 22 tahun.
“Rendy? Apa itu kamu?”
“Selamat ulang tahun sayang,”jawabnya dengan suara yang masih lemah.
Aku hanya bisa menangis terharu. Kupeluk Rendy dengan kuat, sungguh aku tak mau lagi berpisah dengannya.
Sesaat aku bingung, aku menoleh ke Rian. Dia hanya tersenyum dengan mengangkat kedua jarinya sebagai tanda peace.
“Dia adikku yang kuliah di Australia Vin,”kata Rendy.
 “Aku hanya ingin memberikan surprise untukmu. Jadi aku terpaksa berbohong, dan menjadikan Rian sebagai umpannya. Jangan marah padanya, kalau mau marahlah padaku.”
Aku tak bisa berkata apa-apa, aku hanya bisa memeluknya.
Rendy melepaskan pelukanku, kemudian dengan susah payah dia berdiri dan mengeluarkan kotak kecil dari saku celananya.
“Vi, maukah kamu menjadi istriku?” Tanya Rendy. Tapi, belum sempat aku menjawab, dia berkata,”Kamu harus mau Vin.”
Aku hanya bisa tersenyum mendengar perkataannya.
“Ternyata kamu memang benar Rendy, sifatmu yang sedikit pemaksa nggak berubah. Tapi kamu nggak perlu bersusah payah memaksa hari ini, karena aku memang sudah menunggu lama pertanyaan seperti ini darimu,”jawabku pasti.
“Tapi aku minta maaf kalau dulu sering buat kamu sedih Ren,”kataku lagi.
“Yang dulu jangan diungkit lagi Vina sayang. Aku tahu kamu perlu menyesuaikan diri denganku setelah kepergian Raka, tapi aku juga tahu kalau kamu sekarang cinta sama aku. Buktinya sampai sekarang kamu tetap sendiri dan nunggu aku.”
“Kamu tahu dari siapa?” tanyaku bingung. Selama ini aku tak pernah memberitahu Rendy tentang Raka.
“Aku tahu semua dari Om Erwin. Selama ini aku selalu menanyakan kabarmu sama Om Erwin,”jawab Rendy.
“Jadi selama ini Om Erwin tahu semua? Om Erwiiiiiiiiiiiinnn………….”
Aku hanya melihat kepala Om Erwin tersembul di belakang orang tua Rendy dengan mengacungkan empat jari kanan kirinya dan teriak,”PEACE Vina sayang!!!!”
 
 
 
                                                                        Kamar kost, Samarinda, 11 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar