Sabtu, 25 Januari 2014

Aset Daerah dalam Penilaian Opini BPK





Muhammad Fajar, SP, M.Si *

Aset merupakan kekayaan pemerintah daerah kabupaten / kota  yang   setiap tahun anggaran mengalami pertambahan, baik dari segi nilai, kuantitas maupun status kefungsiannya.   Pertambahan nilai tersebut dengan mudah diketahui berdasarkan hasil laporan keuangan pemerintah daerah yang dapat dikompilasi per triwulan, semester dan tahunan. Demikian juga penghapusan aset mencerminkan pengurangan kuantitas jumlah kepemilikian kekayaan  pemerintah daerah yang biasanya melalui keputusan kepala daerah.
 Aset salah satu indicator Badan Pemeriksa Keuangan dalam memberikan penilaian terhadap laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) pada akhir tahun penggangaran. Laporan ini sebagai bentuk pertanggungjawaban Pemerintah daerah (entitas) kepada masyarakat yang disusun berdasarkan standar akuntansi pemerintah (SAP).  Dari laporan entitas tersebut, BPK mempunyai beberapa waktu dalam menilai, menelaah dan memeriksa seluruh item-item secara professional. Hasil penilaian akan menghasilkan opini, berupa pernyataan professional pemeriksa mengenai kewajaran informasi dari Laporan keuangan pemerintah daerah.
 Terdapat empat  opini / predikat yang diberikan oleh tim auditor (BPK) dalam menilai hasil laporan keuangan pemerintah daerah, yakni ; Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer Opinion), Tidak wajar (Adverse Opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP) (Qualified Opinion) dan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) (Unqualified Opinion).
Predikat Disclaimer Opinion merupakan predikat terendah.  Opini ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain; auditor tidak memberikan pendapat disebabkan oleh keterbatasan ruang lingkup. Misalnya; entitas tidak menyerahkan bukti-bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabakan kebenarannya, entitas tidak memiliki sikap keterbukaan (open minded), fleksibilitas dan setengah hati dalam menyajikan laporan keuangan.  Juga disebabkan oleh laporan yang belum menerapkan standar akuntasi pemerintahan serta penyajian laporan keuangan yang tidak tepat waktu.
Opini  tidak wajar (Adverse Opinion) dapat diberikan kepada entitas oleh karena dalam menyajikan laporan masih ditemukan penyimpangan akuntasi yang material.  Contohnya terdapat aset yang sudah tidak berwujud tetapi proses pencatatan masih tercantum pada jurnal pengurus barang. Terdapat beberapa aset yang tidak ditemukan tahun penganggarannya.  Pencatatan aset tidak sesuai dengan belanja modal entitas.
Wajar Dengan pengecualian (Qualified Opinion) dan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) (Unqualified Opinion) adalah predikat opini yang  membaik.  Baik dari segi pelaporan yang telah menerapkan standar akuntansi pemerintah, kesalahan telah diminimalisir, bukti penunjang memadai dan pengelolaaan aset yang baik.  Untuk WTP, auditor menyakini pertanggungjawaban entitas  mendekati kesempurnaan.
Beberapa kabupaten / kota di Kalimantan timur, berdasarkan hasil pemeriksaan Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) per Juni 2012, menyebutkan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Tarakan yang memeroleh predikat WTP.  Bagi Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara opini Wajar Tanpa Pengecualian merupakan prestasi yang membanggakan sekaligus pencapaian yang telah lama dinantikan.  Betapa tidak, predikat disclaimer  selama enam tahun menyuramkan wajah Kabupaten terkaya di Kalimantan timur.  Sejumlah upaya dan perbaikan yang lakukan demi memberanguskan image disclaimer menjauh dari bumi etam ini. 
Setelah ditelusuri, penyebab opini diclaimer yang membelenggu entitas ini merupakan kesalahan-kesalahan yang senantiasa dipelihara. Sedikitnya ada empat Penyebabnya adalah :
1.             Ketidaksesuaian standar akuntansi pemerintah (SAP), pencairan belanja dilaksanakan tetapi aset yang dihasilkan tidak berobjek atau jauh dari kualifikasi. 
2.             Kelemahan system pengendali internal pemerintah (SPIP).   Pengendalian internal setiap entitas yang bernaung dalam satuan Kerja Pemerintah daerah (SKPD) mutlak dilakukan. Pengendalian ini diawali dari proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi setiap kegiatan.  Misalnya pencairan kegiatan yang belum tuntas pengerjaannya merupakan bentuk penyimpangan.  System Pengendalian  melibatkan seluruh pejabat di internal meliputi, Pengguna Anggaran (PA), Petugas Penatausahaan Keuangan (PPK), Petugas Pejabat Teknis Kegiatan(PPTK) dan  Bendahara Pengeluaran.
3.             Ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan yang berlaku. Tahapan yang rentang dengan point ini, misalnya pada proses lelang kegiatan.  Adanya pemenang tender seuai dengan ‘pesanan’ menyebabkan akuntabilitas dan transparansi mengabur. Ketidaktahuan prosedur penerimaan oleh oknum penyelenggara pemerintah yang mempersepsikan masalah dengan kebijakan pribadi.
4.             Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) yang belum rapi (Aset Tetap). 

Poin terakhir ini BMD merupakan fokus pemeriksa dalam mengaudit LKHP entitas. Dikarenakan sekitar 75 persen permasalahan berputar pada bagian ini. Umumnya permasalahan ini seputar pengadaan aset tetap.  
a.             Aset yang tidak dapat dijakini kewajarannya,  dikarenakan  nilai dan keberadaan yang tetrcatat dalam neraca tidak jelas. Apakah keberadaannya berasal dari hibah atau pengadaan? Tahun pengadaan? Ataukah hilangnya bukti dikarenakan pergantian pengurus barang, namun tercatat dalam neraca laporan.
b.             Pencatatan aset tidak akurat dan tidak sesuai dengan kuantitasnya dan tidak didukung oleh bukti kepemilikan. Ketiadaan Nota pembelian, kelalaian petugas dalam pencatatan. Juga tidak didukung oleh status kepemilikan lahan.  Misalnya; belum adanya sertifikat tanah atau bangunan, perizinan mendirikan bangunan, hibah lahan yang digugat oleh ahli waris.
c.              Aset entitas dikuasai oleh pejabat yang tidak berkepentingan.  Misalnya kendaraan operasional atau dinas.  ‘Oknum’ yang masih menguasai kendaraan dinas meskipun statusnya tidak lagi memegang kekuasaan atau purnabakti.  Rasa kepemilikan  yang tinggi serta merasa mempunyai jasa atas keberadaan aset tersebut menyebabkan dirinya enggan aset melepaskannya.
d.             Aset yang belum jelas kepemilikannya.  Ketidakjelasan aset dapat disebabkan oleh faktor pemekaran wilayah, baik dalam entitas dalam wilayah sendiri (antar daerah induk ke daerah baru pemekaran), ataupun dengan entitas lainnya (antara Pemerintah kabupaten dengan kabupaten / kota ataupun provinsi ). Juga bisa disebabkan oleh belum adanya serah terima aset yang dijelaskan dalam dokumen yang sah.

Untuk menyikapi pengelolaan barang milik daerah maka diperlukan strategi peningkatan akuntabilitas barang milik daerah menuju penilaian opini BPK. Strategi tersebut dilakukan miminal dengan empat pendekatan yaitu :
1.      Reformasi Pengelolaan barang Milik Daerah,
Reformasi ini bersifat internal melalui; penyamaan persepsi, mindset dan pola pikir.  Pengurus barang bukan satu-satunya pejabat yang ditugaskan mengelola barang, melainkan tugas bersama antara Pengguna Anggaran, PPK, PPTK dan bendahara pengeluaran dalam satu lingkup SKPD.  Bahwa aset daerah  yang pembiayaannya menggunakan keuangan daerah merupakan aset yang tidak dimiliki secara pribadi atau perseorangan.  Bahwa ketika tidak menjabat maka penguasaan aset daerah diserahkan kepada pejabat yang mendapat mandat mengelola aset daerah.
2.      Penertiban BMD,
a.      Prinsip 3 K (Komitmen, Konsistensi, konsekuen dan (konfiden)
Selayaknya semua pejabat yang secara bersama-sama terlibat dalam pengelolaan barang memiliki prinsip 3 K yaitu, dalam menjalankan amanah yang bebankan.  Komitmen dan dalam ikatan perjanjian, konsisten dalam menerapkan aturan yang berlaku, konsekuen terhadap penyimpangan atau akibat yang ditimbulkan.
b.      Aksi yang jelas dan terukur, adanya penanggungjawab kegiatan serta pembuatan jadwal dan target pelaksanaan.
c.       Menerapkan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) dan membangun jaringan Sistem berbasis IT yang senantiasa dikembangkan.
3.      Rekonsiliasi pada semua Level pelaporan. 
Perbaikan dan penyempurnaan pelaporan aset bersifat buttom up, artinya dari level terbawah, yaitu Satuan Kerja perangkat daerah (SKPD) kelurahan/kecamatan yang dikoordinatori oleh Pengurus barang bersama perangkat kelurahan / kecamatan. Rekonsiliasi meliputi pencatatan keluar masuk aset (barang), yang nantinya akan diteruskan Badan Pengelolaan Aset dan Keuangan kabupaten / kota.  sehingga dijadikan laporan keuangan pemerintah daerah pada akhir tahun anggaran. 
4.      Pelaporan yang   berjenjang secara lengkap dan tepat waktu.
Lanjutan dari rekonsiliasi yang dilakukan minimal pertriwulan, semesteran hingga pada akhir tahun anggaran pada masing-masing SKPD kelurahan / kecamatan.  Upaya ini dilakukan guna meminimalir kesalahan atau kekeliruan melalui Koreksi dalam jurnal penyesuaian, jurnal koreksi.  Perbaikan dan penyetoran laporan aset daerah bersamaan dengan laporan keuangan, minimal per tanggal 10 januari tahun mendatang.

Laporan dari SKPD, baik aset dan keuangan selanjutnya dikompilasi menjadi laporan keuangan pemerintah daerah yang akan dilakukan penilaian oleh BPK ditahun mendatang,  sehingga memeoleh yang opini yang membanggakan.


Penulis :
Muhammad Fajar, SP, M.Si
PPK SKPD Kelurahan Salok Api Laut, Samboja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar