Rabu, 25 September 2013

Kotak Merah untuk Sela


Aku  meraih kaleng berbentuk persegi wadah pengangan bekas berwarna merah di bawah pembaringan. Benda itu adalah pundi-pundiku. Sejenak kutimbang dan kugoncang sekali.  Terdengar gemerik logam beradu didalamnya. Aku memastikan jumlah lebih banyak dibanding tahun kemarin. Karena setiap minggu aku menyisihkan sebagain pendapatan hasil kerja bersama Paman Midun mengeret pasir. Meski kisaranya sekian rupiah, namun aku senang. Walaupun ayah dan ibu tidak mewajibkanku mencari pekerjaan selepas pulang sekolah. Tapi keinginan ini dating dariku sendiri.
“Wan, Ayah tidak melarangmu membantu Pamam Midun, melainkan kewajiban belajar adalah hal penting.  Ingat, sebentar lagi Ujian Akhir. Ayah tidak mengingkan kamu gagal,” pesan ayah saat berada di ruang tidurku.
Aku hanya mengangguk mengiyakan nasihat beliau.
“Apa ini, Wan?” ayah menemukan benda merah.  Beliau mengamati sejenak.
“Anu yah…..” ujarku gugup. Memang, aku tidak pernah memberitahukan perihal keberadaan benda ini. Semata-mata untuk memberikan kejutan ketika aku atau siapapun yang menginginkan pertolongan. Ya, aku belum familiar dengan simpan menyimpan di bank. Berhubung usiaku baru menginjak dua belas tahun dan belum memiliki identitas resmi, melainkan kartu pelajar tingkat Sekolah Dasar.
“Kamu simpan baik-baik, yah!” ujar ayah tak melontarkan banyak pertanyaan seputar harta karun tersebut. Legah perasaan ku.
“Aku pasti membuka isi harta karun ini kelak.  Jika sudah tiba saatnya dan telah sampai masanya,” ujarku membatin. Kembali kugoyangkan kaleng merah lalu gemerincing koin terdengar.
Dalam benak telah tercetus kuat keputusan membiayai kebutuhan pribadiku.  Keperluan yang memerlukan biaya yang besar. Salah satunya adalah khitanan dan pembelian seragam SMP. 
Ya, aku sering risih jika berada di sekitar rekan kelasku. Mengapa? Karena hampir semua teman telah meninggalkan masa kanak-kanannya. Bahkan Rangga dan Darmawan penaikan kelas kemarin sudah melaksanakan. Sehingga tersisa saya sendiri.
“Wih, ternyata tidak sakit yah,” kata Rangga menginfokan keberhasilannya.
“Iya, seperti digigit semut aja,” timpal Darmawan.
“Kamu kapan, Wan?” Rangga balik bertanya.
“Iya, lho. Wan, coba saja, kalau tidak percaya,” Darmawan menambahkan.
Aku melebarkan senyum kepda mereka. “Tunggu saja, nanti kukabari,” ucapku membela diri.  “Betul yah, kami tunggu, Lho!”
***
Adikku, Sela, tiba-tiba panas tinggi.  Malam ini ayah dan ibu memberikan pertolongan pertama. Dengan memberikan kompresan air hangat, tetapi suhu tubuh Sela tidak berangsur turun.  Tidak hanya Panas tubuhnya, namun Sela menangis tak henti-henti. Sedih rasanya melihat Sela dengan kondisi sakitnya. Ia tak mau diletakkan dipembaringan, dan hanya ingin dalam dekapan ibu. Saya berusaha membantu agar Sela mau bersandar dalam dekapanku. Tetapi ia menolak, bahkan tangisnya bertambah.
“Bu, kita bawa ke dokter saja, toh ada Puskesmas buka hingga tengah malam,” kata ayah sudah mulai terusik dengan tangis Sela.
“Iya, Bu, saya memberitahukan Paman Midun,” ujarku membantu mencarikan tupangan.
“Tidak usah, kita pake motor saja,” tolak ayah.
“Yah, kasihan adik,”ujarku tak menghiraukan penolakan Ayah.  Segera saya membuka pintu dan berlari menembus malam pekat. Semoga Paman Midun belum terlelap, sehingga beliau bisa mengantarkan Sela, ayah dan ibu  bertemu dengan dokter malam ini juga.
Lampu rumah Paman Midun masih terang, juga suara perbincangan Paman dan Bibi Lili terdengar dari luar.  Segera saya membuka pintu dan menjelaskan maksud kedatangan saya.  Paman Midun bereaksi cepat.  Ia menukar pakaian kemudian menyalakan mesin kendaraan pemuat pasir dan bersamaku meluncur ke rumah.
Aku legah, karena ayah, ibu, paman berhasil membujuk Sela untuk dibawa berobat.  Meski demikian, aku paham diperlukan biaya untuk pengobatan Sela.
Kembali aku menikuri harta karunku…..
Kupeluk ia erat-erat…….
Diagnose penyakit Sela adalah deman berdarah, dan tubuh kecilnya harus dirawat di rumah sakit.  Aku sedih, ketika lengan kecilnya harus ditembus oleh jarum infus.  Aku tahu, pasti sakit rasanya. Demikian pula resah yang dirasakan oleh Ayah dan Ibu.  Ya, walaupun keluarga telah dijamin oleh selembar kartu bertuliskan jaminan kesehatan daerah.  Namun keberadaan lembar kuning tersebut masih membutuhkan pengeluaran tambahan. Ayah dan ibu harus bergantian menemani Sela, ayah mesti bolak-balik rumah ke rumah sakit, ibu memerlukan uang untuk ongkos makan. Yang semuanya tak dijamin oleh lembar kuning ini. 
Aku kembali merenung.
Mungkin ini adalah saat harta karun ini harus dipergunakan.  Toh, tidak mungkin membebani ayah dan ibu, dimana mereka telah mengerahkan tenaga, waktu dan pikiran kepada Sela.  Aku sedih, karena harus berpisah dengan harta karunku.  Kutimbang-timbang kembali… Aku berupaya berpikiran positif. Meski susah, sungguh. Karena tiupan-tiupan makhluk tak berwujud berhembus dalam benakku. Hembusan itu mencegahku membukanya, hembusannya mendayu-dayu dan merayu agar kuurungkan niat itu.  Tarik-ulur hembusan positif dan negative membadai dalam benakku.
Aku belum memutuskan.
Sore ini ayah mengajakku menjenguk Sela. Aku gembira mendengar kabar itu.  Sehingga sepulang sekolah, aku mengurungkan niat menemani Paman Midun. Dan beliau paham.  Aku pun menanti kepulangan ayah.  Dalam perjalanan ke rumah sakit, ayah banyak bercerita tentang keadaan sela yang berangsur membaik. Alhamdulillah, segala puji atas kesembuhan yang Engkau berikan, ujarku membatin.
Di koridur rumah sakit, mataku menangkap pengumuman di papan besar dinding. Pengumuman yang telah lama kunanti-nanti dan kudambakan.
“Sebentar, yah!” ucapku melepaskan pegangan tangan ayah. Aku berlari ke depan kaca yang memuat info tersebut. Aku membaca kalimat demi kalimat, hari, tanggal dan jam serta pelaksanaannya.   
“Akan kuingat lekat-lekat info ini” ujarku membatin. Ayah hanya memerhatikanku dari kejauhan.  Kemudian aku berlari menyusulnya dari belakang. Ada bahagia menyelimuti diriku, demikian pula senyum Sela telah menghias wajah kecilnya. Ayah dan ibu pun menerima imbas kebahagiaan ini. 
“Dua hari lagi, Sela sudah bisa meninggalkan rumah sakit,” info Ibu kepadaku. Aku tahu maksud yang tersurat. Mungkin beliau bermaksud menyampaikan kebahagian ini kepada Paman Midun. Atau entahlah. ….
Siang ini, kabarnya Sela sudah bisa pulang. Aku bersemangat karena hari ini akan kupastikan kebenaran info yang dua hari kemarin kulihat. Aku langsung menyiapkan diri.  Sepanjang jalan, pengumuman itu terbayang-bayang. Aku  membayangkan diriku telah bergabung dalam kegiatan itu. Terlebih kata-kata Gratis menegaskan. 
“Betul, dek, dua pekan depan akan dilaksanakan khitanan Massal di tempat ini. Adik mau mendaftar?” ujar perawat yang berhasil kutanyai.  Aku mengiyakan. Segera aku mengisi formulir pendaftaran. 017 nomor urutku. Aku segera menyusul ayah.
“Jadi kamu mau ikut khitanan massal!” seru Ayah menimpali setelah kuperlihatkan lembar yang menjadi hakku. Aku menangguk.
“Bu, ini untuk pengobatan Sela,” aku mengeluarkan sejumlah uang dan kuserahkan kepada ayah dan ibu. Ibu menghitung jumlahnya.
“Maaf, Nak! karena ayah dan Ibu belum meluluskan permintaan yang satu ini,” Ayah dan Ibu memelukku. Seketika mata mereka memerah dan akupun hanyut dalam tangis bahagia. 
Muhammad Fajar,
PNS di Kelurahan Salok Api Laut _Samboja
Jl. Mulawarman RT 55 Kel. Manggar.
FB : Fajar djafri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar