Peace!!!!
Mentari
akan tenggelam di ufuk barat dan ketika itu pula semilir angin
menerjang ke arah rambutku. Aku termangu menatapi deburan ombak yang
sedang
berkejar-kejaran di tepi sungai Tepian. Aku menerawang jauh ke arah
sungai itu,
memikirkan sosok seseorang yang benar-benar ada di relung hatiku,
berharap dia
ada di hadapanku saat ini. Menemaniku sampai benar-benar aku percaya dan
berharap penuh padanya untuk selalu bersamaku, sampai akhirnya nanti aku
akan merasa
tenang di sampingnya. Menatap bola matanya yang penuh dengan kejujuran
dan
sirat akan kelembutan.
Aku
pun tersadar bahwa khayalanku ini terlalu tinggi, sungguh tinggi!
Khayalan
yang tak akan pernah bisa terjadi di
duniaku saat ini, karena duniaku dan dunianya kini memang telah berbeda.
Berbeda!
Handphoneku berbunyi,
kulihat dilayar
ternyata dari Rendy kekasihku.
“Hm ya,,ada apa Ren?”
“Hari
Minggu besok kamu nggak ke mana-mana kan? Kita jalan-jalan ya, aku
pengen refreshing bareng kamu nih.”
Jalan-jalan? Kemana Rendy mau
mengajakku?!
Tuhan…apa
yang harus aku katakan? Setahun lamanya aku menjalani hari
bersamanya. Tapi mengapa? Sampai saat ini aku tak pernah bisa untuk bisa
sepenuhnya mengerti Rendy. Sosok bayangan yang jauh di atas sana
melintas di
hadapanku dan mengusik pikiranku. Aaargh…
“Vin, kamu nggak papa kan?” Rendy
mengagetkanku di seberang sana.
“Oh ya Ren,maaf ya, kayaknya aku
nggak bisa Minggu besok. Aku di ajak Om Erwin ke rumah Oma.” Bohongku
lagi.
Selalu!
Seperti
biasa, Rendy tak lelahnya mengajakku pergi bersamanya dan aku punya
seribu alasan untuk menolak ajakannya. Seperti siang kemarin saat dia
mengajakku makan di Mall.
“Ren,
aku capek banget. Tadi aku baru selesai praktek lapangan. Kamu ngertiin
aku ya?” penuh harap aku menunggu jawabannya. Aku memang habis praktek
lapangan
tadi, yang aku bohong sebenarnya aku tidak terlalu lelah, soalnya
prakteknya
cuma sebentar aja. Aku tahu, sebenarnya kalau pun nantinya pergi ke
Mall, pasti
bukan hanya sekedar makan saja. Mall adalah salah satu tempat yang
sering aku
kunjungi bersama Raka. Aku tidak ingin selalu teringat akan kenanganku
bersamanya.
“Ya
sudah deh, aku ngerti” jawabnya sambil mengacak rambutku.
“Tapi janji, lain kali jangan
nolak aku lagi. Kalau nggak aku nggak mau ketemu lagi,” katanya lagi.
“Iya,
hari
ini kita makan di kantin kampus aja ya,” jawabku cepat.
Rendy,
kenapa
aku harus bergelut dengan perasaan bersalah ini. Aku bukannya tak ingin
selalu bersamamu, jalan-jalan denganmu. Tapi semua itu cuma mengingatkan
aku
sama Raka. Munafikkah diriku? Maafkan aku Rendy!
Sebenarnya tidak ada yang kurang dari diri
Rendy. Dia baik, pintar, dan disukai banyak orang. Hanya saja aku yang
sering
membuatnya sedih, namun tak pelak dia masih bersikap sabar dan setia
bersamaku.
***
Hari
ini tidak seperti biasanya Rendy tak menghubungiku. Biasanya dia selalu
menghubungiku, hampir setiap saat. Aku merasa ada yang hilang, walaupun
aku
selalu tak pernah bisa melupakan Raka, kekasihku yang telah tiada, tapi
aku pun
tak ingin Rendy pergi meninggalkan aku.
Ah
ya, aku ingat. Kemarin dia memintaku untuk menemaninya ke acara pesta
pernikahan temannya, tapi aku menolaknya. Tapi aku menolak karena memang
tidak
bisa. Tante Diana, istri Om Erwin menelfon minta ditemani ke Supermarket
untuk
berbelanja bahan dapur. Apa Rendy benar-benar tidak akan lagi
menemuiku?kenapa
dia nggak ada telfon aku?
“Vina?
Kamu
nggak papa?” tanya Karin mengangetkanku. Lalu dia duduk di sampingku.
“Ah
nggak,” jawabku bohong.
“Oh,
bagus deh. Aku kira kamu nggak bisa nahan rasa sedihmu ditinggal Rendy.”
Aku
menoleh ke Karin,“Maksud kamu? Emang rendy kemana Rin?” tanyaku bingung.
Karin
terlihat
lebih bingung dengan pertanyaanku. Dia menatap mataku, mencari
kebenaran dalam bola mataku, apakah aku bercanda.
“Jadi
kamu
beneran nggak tahu?” tanyanya kembali sambil mengerutkan wajahnya,
tanda
ia masih terlihat bingung dan tak percaya.
“Iya
Rin, aku gak tahu apa-apa. Dari tadi Rendy gak ada hubungin aku.”
“Astaga
Vin,
berapa lama kamu pacaran sama dia? Jangan-jangan kamu juga nggak tahu
lagi
kalau dia punya penyakit?” kata Karin tak percaya.
Aku
terdiam. Kepalaku rasanya mau meledak. Tak mampu mengusir banyak
pertanyaan
yang tiba-tiba muncul begitu saja. Penyakit?
Rendy punya penyakit?Penyakit apa? Selama ini dia terlihat sehat sekali,
nggak
ada tanda-tanda dia sedang sakit. Dia juga nggak pernah cerita.
“Ah
ya, aku mengerti sekarang. Aku sudah kenal Rendy lama, jauh sebelum kamu
kenal
dia. Aku tahu sifat Rendy, pasti dia nggak mau kamu tahu dan sedih kalau
kamu
tahu tentang penyakitnya. Dia mengidap penyakit kanker Vin.”
“Kanker?”
tanyaku
tak percaya. Rasanya seluruh saraf di tubuhku terhenti. Aku kembali
teringat Raka, dia meninggal karena terserang penyakit kanker Otak.
“Iya,
kanker.
Sudah lama aku tahu dia punya penyakit itu. Tapi sampai sekarang aku
juga nggak tahu dia kena kanker apa. Dia nggak pernah mau kasih tahu
siapa pun
Vin. Tapi yang jelas dulu dia pernah bilang, yang penting kalau dia
terus
bahagia dia pasti cepat sembuh. Dia juga pernah bilang, katanya kamu itu
satu-satunya
perempuan yang bisa buat dia ngerasain apa artinya cinta. Aku salut Vin
sama
kamu,”kata Karin sambil menepuk bahuku.
Aku
masih mencerna kata-kata Karin. Apa benar aku nggak salah dengar? Tapi
Karin
nggak mungkin bohong.
“Terus
kamu
tahu nggak sekarang dia di mana?
Handphonenya nggak aktif.”
“Aku
nggak tahu Vin. Kemarin dia cuma pamit mau berobat dan minta doa sama
teman-teman sekelas. Itupun Cuma sebentar banget. ”
Kanker? Hanya kata itu yang ada dalam
kepalaku. Rendy ninggalin aku selamanya karena kanker? Apa Rendy juga
akan
ninggalin aku? Aku bangkit dari kursi dan bergegas menggamit tasku. Aku
melangkahkan kakiku menuju parkiran.
“Vin,
kamu
mau kemana?” suara Karin terdengar jauh di belakang sana. Aku tak mampu
menjawab. Rasanya bibirku terasa sangat kelu, bahkan untuk melangkah pun
sulit.
Yang ada dalam pikiranku aku harus secepatnya menemui Rendy. Tapi di
mana? Ah,
aku harus pergi ke rumahnya.
***
Buuuuk,
aku
membanting pintu mobil dengan keras. Air mataku kini tak lagi dapat
kubendung.
Aku menyesali diriku, merutuki diri. Mengapa
aku begitu egois. Aku tak pernah mau peduli bagaimana perasaan Rendy,
aku hanya
mementingkan diriku sendiri. Baru saja aku mengetuk pintu rumahnya,
pembantunya
bilang majikannya pergi ke luar negeri. Apa benar Rendy berobat keluar
negeri?
Separah itukah penyakitnya sampai dia mesti berobat ke luar negeri?
Aku
melaju mengarahkan mobilku ke arah menuju Tepian. Hanya tempat inilah
yang
selama ini dapat menenangkan hatiku di saat aku rapuh. Selama ini aku
tinggal
di rumah Om Erwin, adik ayahku. Orang tuaku sudah lama meninggal, sejak
umurku
7 tahun. Mereka meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit saat ibuku
akan melahirkan adikku. Tapi belum sampai di
Rumah
Sakit mobil yang ditumpangi orang tuaku ditabrak Truk. Sejak saat itulah
aku
merasa bahwa hidupku telah mati. Saat aku duduk di bangku SMA kelas 11,
aku
berkenalan dengan Raka. Mahasiswa Universitas Mulawarman semester 3.
Rakalah
yang telah membuat hidupku segar kembali. Dia yang selalu menemani
hari-hariku.
Memberi kebahagiaan sampai aku masuk di tempat kuliah yang sama
dengannya. Tapi
kebahagiaan itu tak berlangsung lama, hanya sampai aku baru 3 bulan
merasakan
menjadi mahasiswa baru, Raka meninggalkanku untuk selama-lamanya. Sampai
pada
tak lama waktu berselang, Rendy datang padaku.
“Kamu
yang
namanya Vina?” tanya seorang pria dihadapanku. Pria ini mengagetkanku.
Aku
taksir, mungkin umurnya setara dengan umurku. Tapi, aku seperti tak
asing rasanya
dengan wajah pria ini.
Saat
ini aku sedang menikmati indahnya panorama Tepian. Sore ini aku tak ada
pekerjaan apa-apa, jadi aku memutuskan untuk berjalan-jalan seorang
diri.
Setelah dua tahun lamanya Rendy tak memberi kabar kepadaku, sampai
sekarang aku
seorang diri. Aku masih menunggunya. Banyak teman-temanku yang sudah
menikah,
tapi aku sudah berjanji untuk menunggu dan hidup bersamanya.
Ah
Rendy, bagaimana kabarmu saat ini? Apa kamu belum sembuh?Atau sebenarnya
kamu
sudah sembuh? Tapi mengapa tak juga kamu menemuiku?Apa memang kamu sudah
ingin
menjauh dariku?
“Apakah
kamu
mendengarku?” pria itu membuyarkan lamunanku.
“Ah
ya, saya Vina,” jawabku.
“Anda
siapa?”
tanyaku bingung.
“Apa Anda tak mengenaliku?” tanya pria itu
lagi.
Kali ini dia menatapku dengan tajam. Mata itu?
Ah, aku seperti mengenali mata itu. mata itu milik Rendy. Apa benar dia
Rendy?
Rendy yang selama ini aku nanti. Tapi badan pria ini tak seatletis dan
setinggi
Rendy. Apa yang telah
menyebabkannya
menjadi seperti ini? Pikiranku semakin kemana-mana. Aku semakin
bingung.
“Apa
kamu Rendy?” tanyaku ragu.
“Hm,
ternyata kamu mengenali.”
“Jadi
kamu
benar Rendy?” tanyaku penuh kebahagiaan.
Belum
sempat
aku memeluknya, Rendy berkata,”Ah, ternyata kamu benar mencintainya.
Buktinya kamu masih mengenali matanya.”
“Maksud
kamu?”
“Mata
ini
memang milik Rendy, tapi aku bukan Rendy.”
Aku
masih bingung dengan perkataan pria ini.
“Namaku
Rian,
Rendy mendonorkan matanya untukku. Aku…”
Belum
sempat
aku mendengarkan lanjutan cerita Rian, aku merasa seperti di hantam
sebuah batu besar di kepalaku, tiba-tiba aku merasa di sekelilingku
menjadi
gelap. Badanku terasa lemas dan aku hanya bisa mendengar sayup-sayup
suara Rian
memanggil namaku.
***
Aku
membuka mataku dengan berat. Di sampingku ada Om Erwin dan Rian, serta
seorang
wanita dan pria yang aku kenali adalah orang tua Rendy. Aku seperti
sudah tahu
apa yang akan dilakukan oleh orang tua Rendy. Aku tahu Rendy sudah
meninggal,
dan Rian? Aku tak tahu siapa dia sebenarnya, yang aku tahu mata yang ada
dalam
dirinya adalah mata Rendy.
“Vin, kamu sudah
sadar?” Om Erwin membantuku untuk duduk.
“Vin, ini orang
tua Rendy. Dia ingin bicara denganmu. Jadi lebih baik Om keluar dulu.”
kata Om
Erwin sambil beranjak meninggalkan kamar.
Tante
Emy
menggamit tanganku, dia memelukku dan menangis. Entah apa yang
membuatnya
menangis. Mungkin dia tak sanggup mengatakan kepadaku bahwa Rendy telah
tiada.
Tiba-tiba ruangan kamarku menjadi gelap. Aku
tak dapat melihat apa-apa, aku hanya mendengar suara gaduh memenuhi
kamarku yang
sempit ini.
DOR!!!
Suara
balon
pecah mengagetkanku, dan lampu seketika menyala. Aku melihat
teman-temanku dan keluargaku memenuhi kamarku. Banyak balon-balon
bertebaran di
kamarku, begitu pula hiasan-hiasan yang cantik tak luput dari pandangan
mataku.
Aku bingung, apakah aku berulang tahun? Tanggal berapa ini? Aku ingat,
hari ini
adalah tanggal 27 September, kenapa aku sampai lupa. Belum sempat aku
menghilangkan rasa kagetku, aku tercengang melihat sosok pria yang
datang
dengan kursi roda. Dia membawa kue tart dengan lilin berbentuk 22. Ya,
umurku
sekarang 22 tahun.
“Rendy?
Apa
itu kamu?”
“Selamat
ulang
tahun sayang,”jawabnya dengan suara yang masih lemah.
Aku
hanya bisa menangis terharu. Kupeluk Rendy dengan kuat, sungguh aku tak
mau
lagi berpisah dengannya.
Sesaat
aku bingung, aku menoleh ke Rian. Dia hanya tersenyum dengan mengangkat
kedua
jarinya sebagai tanda peace.
“Dia
adikku yang kuliah di Australia Vin,”kata Rendy.
“Aku
hanya ingin memberikan surprise untukmu. Jadi aku
terpaksa
berbohong, dan menjadikan Rian sebagai umpannya. Jangan marah padanya,
kalau
mau marahlah padaku.”
Aku
tak bisa berkata apa-apa, aku hanya bisa memeluknya.
Rendy
melepaskan pelukanku, kemudian dengan susah payah dia berdiri dan
mengeluarkan
kotak kecil dari saku celananya.
“Vi,
maukah kamu menjadi istriku?” Tanya Rendy. Tapi, belum sempat aku
menjawab, dia
berkata,”Kamu harus mau Vin.”
Aku
hanya bisa tersenyum mendengar perkataannya.
“Ternyata
kamu memang benar Rendy, sifatmu yang sedikit pemaksa nggak berubah.
Tapi kamu
nggak perlu bersusah payah memaksa hari ini, karena aku memang sudah
menunggu
lama pertanyaan seperti ini darimu,”jawabku pasti.
“Tapi
aku minta maaf kalau dulu sering buat kamu sedih Ren,”kataku lagi.
“Yang
dulu jangan diungkit lagi Vina sayang. Aku tahu kamu perlu menyesuaikan
diri
denganku setelah kepergian Raka, tapi aku juga tahu kalau kamu sekarang
cinta
sama aku. Buktinya sampai sekarang kamu tetap sendiri dan nunggu aku.”
“Kamu
tahu dari siapa?” tanyaku bingung. Selama ini aku tak pernah memberitahu
Rendy
tentang Raka.
“Aku
tahu semua dari Om Erwin. Selama ini aku selalu menanyakan kabarmu sama
Om
Erwin,”jawab Rendy.
“Jadi
selama ini Om Erwin tahu semua? Om Erwiiiiiiiiiiiinnn………….”
Aku
hanya melihat kepala Om Erwin tersembul di belakang orang tua Rendy
dengan mengacungkan
empat jari kanan kirinya dan teriak,”PEACE
Vina sayang!!!!”
Kamar
kost, Samarinda, 11 Juli 2011