Aku meraih kaleng berbentuk persegi wadah pengangan
bekas berwarna merah di bawah pembaringan. Benda itu adalah pundi-pundiku. Sejenak
kutimbang dan kugoncang sekali.
Terdengar gemerik logam beradu didalamnya. Aku memastikan jumlah lebih
banyak dibanding tahun kemarin. Karena setiap minggu aku menyisihkan sebagain
pendapatan hasil kerja bersama Paman Midun mengeret pasir. Meski kisaranya sekian
rupiah, namun aku senang. Walaupun ayah dan ibu tidak mewajibkanku mencari
pekerjaan selepas pulang sekolah. Tapi keinginan ini dating dariku sendiri.
“Wan, Ayah tidak
melarangmu membantu Pamam Midun, melainkan kewajiban belajar adalah hal
penting. Ingat, sebentar lagi Ujian
Akhir. Ayah tidak mengingkan kamu gagal,” pesan ayah saat berada di ruang
tidurku.
Aku hanya
mengangguk mengiyakan nasihat beliau.
“Apa ini, Wan?”
ayah menemukan benda merah. Beliau
mengamati sejenak.
“Anu yah…..” ujarku
gugup. Memang, aku tidak pernah memberitahukan perihal keberadaan benda ini.
Semata-mata untuk memberikan kejutan ketika aku atau siapapun yang menginginkan
pertolongan. Ya, aku belum familiar dengan simpan menyimpan di bank. Berhubung
usiaku baru menginjak dua belas tahun dan belum memiliki identitas resmi,
melainkan kartu pelajar tingkat Sekolah Dasar.
“Kamu simpan
baik-baik, yah!” ujar ayah tak melontarkan banyak pertanyaan seputar harta
karun tersebut. Legah perasaan ku.
“Aku pasti membuka
isi harta karun ini kelak. Jika sudah
tiba saatnya dan telah sampai masanya,” ujarku membatin. Kembali kugoyangkan
kaleng merah lalu gemerincing koin terdengar.
Dalam benak telah
tercetus kuat keputusan membiayai kebutuhan pribadiku. Keperluan yang memerlukan biaya yang besar.
Salah satunya adalah khitanan dan pembelian seragam SMP.
Ya, aku sering
risih jika berada di sekitar rekan kelasku. Mengapa? Karena hampir semua teman
telah meninggalkan masa kanak-kanannya. Bahkan Rangga dan Darmawan penaikan
kelas kemarin sudah melaksanakan. Sehingga tersisa saya sendiri.
“Wih, ternyata
tidak sakit yah,” kata Rangga menginfokan keberhasilannya.
“Iya, seperti
digigit semut aja,” timpal Darmawan.
“Kamu kapan, Wan?”
Rangga balik bertanya.
“Iya, lho. Wan,
coba saja, kalau tidak percaya,” Darmawan menambahkan.
Aku melebarkan
senyum kepda mereka. “Tunggu saja, nanti kukabari,” ucapku membela diri. “Betul yah, kami tunggu, Lho!”
***
Adikku, Sela,
tiba-tiba panas tinggi. Malam ini ayah
dan ibu memberikan pertolongan pertama. Dengan memberikan kompresan air hangat,
tetapi suhu tubuh Sela tidak berangsur turun.
Tidak hanya Panas tubuhnya, namun Sela menangis tak henti-henti. Sedih
rasanya melihat Sela dengan kondisi sakitnya. Ia tak mau diletakkan
dipembaringan, dan hanya ingin dalam dekapan ibu. Saya berusaha membantu agar
Sela mau bersandar dalam dekapanku. Tetapi ia menolak, bahkan tangisnya
bertambah.
“Bu, kita bawa ke
dokter saja, toh ada Puskesmas buka hingga tengah malam,” kata ayah sudah mulai
terusik dengan tangis Sela.
“Iya, Bu, saya memberitahukan
Paman Midun,” ujarku membantu mencarikan tupangan.
“Tidak usah, kita
pake motor saja,” tolak ayah.
“Yah, kasihan
adik,”ujarku tak menghiraukan penolakan Ayah.
Segera saya membuka pintu dan berlari menembus malam pekat. Semoga Paman
Midun belum terlelap, sehingga beliau bisa mengantarkan Sela, ayah dan ibu bertemu dengan dokter malam ini juga.
Lampu rumah Paman
Midun masih terang, juga suara perbincangan Paman dan Bibi Lili terdengar dari
luar. Segera saya membuka pintu dan
menjelaskan maksud kedatangan saya.
Paman Midun bereaksi cepat. Ia
menukar pakaian kemudian menyalakan mesin kendaraan pemuat pasir dan bersamaku
meluncur ke rumah.
Aku legah, karena
ayah, ibu, paman berhasil membujuk Sela untuk dibawa berobat. Meski demikian, aku paham diperlukan biaya
untuk pengobatan Sela.
Kembali aku
menikuri harta karunku…..
Kupeluk ia
erat-erat…….
Diagnose penyakit
Sela adalah deman berdarah, dan tubuh kecilnya harus dirawat di rumah
sakit. Aku sedih, ketika lengan kecilnya
harus ditembus oleh jarum infus. Aku
tahu, pasti sakit rasanya. Demikian pula resah yang dirasakan oleh Ayah dan
Ibu. Ya, walaupun keluarga telah dijamin
oleh selembar kartu bertuliskan jaminan kesehatan daerah. Namun keberadaan lembar kuning tersebut masih
membutuhkan pengeluaran tambahan. Ayah dan ibu harus bergantian menemani Sela,
ayah mesti bolak-balik rumah ke rumah sakit, ibu memerlukan uang untuk ongkos
makan. Yang semuanya tak dijamin oleh lembar kuning ini.
Aku kembali
merenung.
Mungkin ini adalah
saat harta karun ini harus dipergunakan.
Toh, tidak mungkin membebani ayah dan ibu, dimana mereka telah
mengerahkan tenaga, waktu dan pikiran kepada Sela. Aku sedih, karena harus berpisah dengan harta
karunku. Kutimbang-timbang kembali… Aku
berupaya berpikiran positif. Meski susah, sungguh. Karena tiupan-tiupan makhluk
tak berwujud berhembus dalam benakku. Hembusan itu mencegahku membukanya,
hembusannya mendayu-dayu dan merayu agar kuurungkan niat itu. Tarik-ulur hembusan positif dan negative
membadai dalam benakku.
Aku belum
memutuskan.
Sore ini ayah
mengajakku menjenguk Sela. Aku gembira mendengar kabar itu. Sehingga sepulang sekolah, aku mengurungkan
niat menemani Paman Midun. Dan beliau paham.
Aku pun menanti kepulangan ayah.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, ayah banyak bercerita tentang keadaan
sela yang berangsur membaik. Alhamdulillah, segala puji atas kesembuhan yang
Engkau berikan, ujarku membatin.
Di koridur rumah
sakit, mataku menangkap pengumuman di papan besar dinding. Pengumuman yang
telah lama kunanti-nanti dan kudambakan.
“Sebentar, yah!”
ucapku melepaskan pegangan tangan ayah. Aku berlari ke depan kaca yang memuat
info tersebut. Aku membaca kalimat demi kalimat, hari, tanggal dan jam serta
pelaksanaannya.
“Akan kuingat
lekat-lekat info ini” ujarku membatin. Ayah hanya memerhatikanku dari
kejauhan. Kemudian aku berlari
menyusulnya dari belakang. Ada bahagia menyelimuti diriku, demikian pula senyum
Sela telah menghias wajah kecilnya. Ayah dan ibu pun menerima imbas kebahagiaan
ini.
“Dua hari lagi,
Sela sudah bisa meninggalkan rumah sakit,” info Ibu kepadaku. Aku tahu maksud
yang tersurat. Mungkin beliau bermaksud menyampaikan kebahagian ini kepada
Paman Midun. Atau entahlah. ….
Siang ini, kabarnya
Sela sudah bisa pulang. Aku bersemangat karena hari ini akan kupastikan
kebenaran info yang dua hari kemarin kulihat. Aku langsung menyiapkan
diri. Sepanjang jalan, pengumuman itu
terbayang-bayang. Aku membayangkan
diriku telah bergabung dalam kegiatan itu. Terlebih kata-kata Gratis
menegaskan.
“Betul, dek, dua pekan
depan akan dilaksanakan khitanan Massal di tempat ini. Adik mau mendaftar?”
ujar perawat yang berhasil kutanyai. Aku
mengiyakan. Segera aku mengisi formulir pendaftaran. 017 nomor urutku. Aku segera
menyusul ayah.
“Jadi kamu mau ikut
khitanan massal!” seru Ayah menimpali setelah kuperlihatkan lembar yang menjadi
hakku. Aku menangguk.
“Bu, ini untuk
pengobatan Sela,” aku mengeluarkan sejumlah uang dan kuserahkan kepada ayah dan
ibu. Ibu menghitung jumlahnya.
“Maaf, Nak! karena
ayah dan Ibu belum meluluskan permintaan yang satu ini,” Ayah dan Ibu
memelukku. Seketika mata mereka memerah dan akupun hanyut dalam tangis
bahagia.
Muhammad Fajar,
PNS di Kelurahan
Salok Api Laut _Samboja
Jl. Mulawarman RT
55 Kel. Manggar.
FB : Fajar djafri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar